Cerpen "Harfiah Nama"


         Banyak orang berkata bahwa nama merupakan doa yang diberikan oleh kedua orang tua untuk anaknya. Saat anaknya terlahir ke dunia, orang tua pasti memberikan nama untuk bayi mungilnya dengan nama-nama terpilih dan memiliki arti yang baik.

     Begitu pun dengan sosok orang tua yang telah memberikannya nama ‘Lashira’. Arti dari nama 'Lashira' yaitu sangat cerdas. Banyak anak lain yang memakai nama tersebut. Tetapi, nama ‘Lashira’ sepertinya tidak cocok untuk seorang siswi yang selalu mendapat nilai jelek, hampir tidak naik kelas, dan memiliki kecerdasan di bawah rata-rata seperti seorang Lashira Alifiana Leora. Bahkan, para guru di sekolahnya pun sudah jenuh melihat daftar nilainya yang sedari dulu tidak pernah ada perkembangan. Rapornya selalu saja dipenuhi warna merah. Padahal Lashira termasuk anak yang rajin datang ke sekolah. Dan untungnya saja daftar kehadirannya itu mampu membantu Lashira supaya naik kelas. Jika tidak, mungkin saja Lashira akan tinggal kelas. Betapa memalukannya bila itu terjadi.

     Kini, Lashira duduk di bangku kelas 12 SMA. Menjadi murid tingkat akhir tentu saja mempunyai banyak beban dan pikiran.
Ke mana akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih jauh? Apa yang harus dilakukan ke depannya? Dan mau menjadi seperti apa nantinya?
     Hal itulah yang dipikirkan Lashira saat ini. Dengan semua nilainya yang bisa dikategorikan di bawah standar, akankah dirinya bisa masuk ke perguruan tinggi negeri?

     Di saat teman-temannya membicarakan tentang perkuliahan atau masa depan, Lashira justru bergeming dan merasa jika kepalanya sebentar lagi akan meledak bila terus-menerus memikirkan itu semua.
     “Enggak ada yang enggak mungkin di dunia ini kok, Ra,” ucap Adelina, teman sebangku Lashira.
     Lashira berdecak kesal menanggapi ucapan enteng Adelina barusan. “Lo enak cuma bisa ngomong gitu doang tanpa merasakan apa yang orang lain rasakan. Enak ya jadi lo, Lin. Pintar, selalu jadi murid kebanggaan guru-guru, disanjung sana-sini. Kalau lo kuliah di mana pun juga udah pasti lo bakalan mudah diterima. Sedangkan gue bisa apa, Lin? gue kan hanya orang bodoh yang enggak bisa apa-apa. Jadi, lo enggak usah sok ngucapin kata-kata bijak yang enggak bakal merubah apa pun. Percuma, Lin. Percuma.”
     “Setiap manusia itu punya otak yang sama. Yang bikin beda, otak itu terus diasah lalu dia bisa jadi cerdas atau otak itu dibiarkan malas berpikir dan jadi tumpul dan pada akhirnya punya pemikiran yang kolot kayak lo sekarang ini.” 
     “Asal lo tahu ya, Ra. Enggak ada orang yang pintar dan bodoh di dunia ini, yang ada hanyalah orang rajin dan pemalas.”
     Setelah mengucapkan itu, Adelina pergi dari hadapan Lashira dengan raut wajah yang kesal. Adelina sudah berbaik hati dengan berusaha membuat Lashira semangat dan tidak pantang menyerah, tapi Lashira justru tak mengindahkan kata-katanya barusan.

     Sejujurnya, perkataan Adelina tadi sangat menohok Lashira. Tapi bukankah selama ini Lashira cukup rajin? Dirinya selalu masuk sekolah dan memperhatikan guru di saat mereka menjelaskan materi pelajaran. Ya, walaupun semua yang diajarkan tidak ada satu pun yang dia pahami. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Mungkin itulah istilah yang tepat untuk Lashira. Entah apa yang salah dengan otaknya.

     Lashira merenung cukup lama di dalam gudang sekolah, sampai-sampai bel masuk berbunyi pun tak dia hiraukan. Alasannya memilih gedung sekolah sebagai tempat penyendiriannya karena di sana hening dan tidak ada siapa pun. 

     Pikiran-pikiran tentang masa depannya terus-menerus berputar di kepalanya dan menghantui dirinya. Lashira ingin marah dan protes pada orangtuanya yang tidak sepantasnya memberikan dia nama yang artinya sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Ah, sungguh anak tak tahu diri, pikirnya.

      Lashira menatap sekitar. Tanpa sengaja ia melihat sebuah buku tergeletak begitu saja di lantai. Lalu diambilnya buku tersebut dan Lashira mulai membaca setiap kata yang ada dalam buku itu. Ternyata, buku tulis yang telah usang itu merupakan milik kakak kelasnya yang telah lulus dua tahun yang lalu. Di depan sampul buku tertulis jelas nama 'Putri K Lashira'. Lashira terkejut. Nama belakang si pemilik buku sama dengan namanya. Namun apakah otak Lashira yang itu sama dengan otak dirinya? Jawabannya tidak. Lashira yang itu pintar. Semua nilainya selalu bagus dan nyaris sempurna. Sangat pantas dengan namanya. Berbeda jauh sekali dengan Lashira Alifiana Leora. Dan itu membuat Lashira semakin hanyut dalam keputusasaan.

     Sesampainya di rumah, Lashira sudah tak tahan lagi untuk berbicara dengan orang tuanya perihal harfiah namanya. 
     "Assalamualaikum, Bu." Lashira mengucapkan salam sembari mencium punggung tangan ibunya.
     "Wa'alaikumsalam. Ibu mau bicara sebentar sama kamu boleh, Ra?" tanya ibunya.
Lashira mengangguk, dia sudah bisa menebak apa yang akan dibahas oleh ibunya.
    "Kamu ini sudah kelas 12 kan? Dan kamu adalah satu-satunya permata dan harapan bagi Ibu dan Ayah. Ibu berharap sekali supaya kamu bisa sukses ke depannya. Lashira, apa cita-cita kamu? Ibu dan Ayah akan mendukungmu dan akan berusaha membantumu agar kelak cita-citamu tercapai."
Lashira terdiam. Selama ini, dirinya hanya terus mengeluh dan menganggap bahwa sampai kapan pun Lashira akan menjadi orang bodoh. Kalau pun dia punya cita-cita, pasti Lashira akan menepis harapan yang dikiranya itu tidak akan pernah tercapai. 
     "Aku paham kok, pasti semua orang tua ingin melihat anaknya sukses. Tapi, Bu, apa bisa Lashira menjadi sukses dengan nilai-nilai yang hancur dan otak yang bodoh ini?"
     "Siapa yang bilang kamu bodoh? Jangan pernah berpikir begitu.” Ibunya mengelus puncak kepalanya dengan lembut. “Tujuh belas tahun yang lalu, Ibu dan Ayah memberimu nama dengan arti yang bagus. Karena kami berharap suatu saat nama itu akan membawamu pada keberhasilan."
     "Tapi kenapa arti nama itu justru kebalikannya diri aku? Kenapa aku enggak bisa sesuai dengan namaku sendiri?"
     "Kalau kamu cuma bisa mengeluh terus-menerus tanpa berjuang, jelas saja impian itu tidak akan bisa diraih. Ibaratnya kamu menanam tumbuhan di musim kemarau dan tumbuhan itu tak kau sirami setiap hari. Kamu hanya berharap hujan turun dan membasahi tumbuhan tersebut. Hingga akhirnya hujan tak kunjung turun, tumbuhan tersebut pun mati karena kamu hanya berharap pada hujan, padahal kamu bisa menyiraminya sendiri dengan rutin," ujar ibunya.
     Lashira menghela napas panjang kemudian berkata, "Lalu aku harus gimana? Otakku bahkan enggak mampu menyerap semua pelajaran di sekolah." 
     "Berhenti mensugesti diri kamu dengan kata-kata seperti tidak bisa, tidak akan mampu, semua itu mustahil, dan sebagainya. Tanamkan dibenakmu bahwa kamu bisa, bisa, dan bisa."

     Lashira memeluk ibunya erat sambil menangis. Suasana di rumah saat ini menjadi haru. Benar kata ibunya, Lashira seharusnya tidak boleh selalu berpikiran negatif. Lashira bertekad untuk membuktikan kepada dunia bahwa dirinya dan namanya itu adalah suatu kesamaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedikit Tentang Body Shaming

Budaya Literasi di Indonesia Saat Ini

BE CREATIVE