Cerpen "Matahari dan Bulan"
Saura yang tengah berbelanja di pasar karena disuruh oleh ibunya tiba-tiba didatangi oleh segerombolan preman pasar dan mengganggunya.
" Neng kok cantik amat sih? Pulangnya abang anterin aja yuk," ucap salah satu preman. Preman-preman itu terus saja mengganggunya. Saura tak menggubris mereka. Ketika Saura ingin pergi dari pasar, preman-preman tadi menghadang Saura dan kembali mengganggunya. Tiba-tiba tangannya ditarik dari samping oleh sesorang dan dibawa pergi.
"Ih lepasin..Lo siapa?" tanya Saura.
"Aku Afnan. Maaf udah narik-narik tanganmu. Aku cuma mau nolongin kamu dari preman tadi...Keliatannya kamu baru kali ini ke pasar ya?" ujarnya.
"Iya..gue disuruh nyokap buat belanja disini. Emangnya lo sering kesini?"
"Aku kerja di pasar ini kalau lagi nganggur. Kerjanya sih cuma angkat atau bawain barang belanjaan orang-orang... Lumayan kan dapat upah."
Handphone Saura berdering menandakan ada telepon dari seseorang. Dan benar saja, ibunya meneleponnya agar Saura segera pulang ke rumah sehabis belanja. Kemudian Saura pamit kepada Afnan dan pergi begitu saja.
***
Kejadian di pasar waktu itu dan cowok itu selalu terlintas di pikiran Saura. Kenapa ia memikirkan cowok itu. Saura ingin bertemu kembali dengannya. Ia ingin berterima kasih kepada Afnan karena telah menolongnya, tapi tidak bisa. Beberapa hari ini Saura sering pergi ke pasar untuk mencari Afnan. Tetapi hasilnya nihil. Saura tidak pernah lagi melihat Afnan. Entah kenapa Saura ingin sekali mengetahui banyak hal tentang Afnan. Ia yakin bahwa Afnan seumuran dengannya. Masih sama-sama SMA. Tapi kenapa Afnan harus bekerja seperti itu di usianya sekarang ini. Bukankah seharusnya dia hanya fokus sekolah dan belajar untuk saat ini. Ya mungkin saja dia bekerja seperti itu untuk mengisi waktu luang atau untuk menambah uang jajannya. "Ya ampun...kenapa jadi mikirin dia sih?" batin Saura.
Sepulang sekolah, Saura melihat ibunya dan seorang anak laki-laki seumurannya di teras rumah. Ibunya memberikan selembar uang 10 ribu kepada anak tersebut. Saura sepertinya mengenali orang itu.
"Afnan..lo Afnan kan? Cowok yang waktu itu di pasar?" tanya Saura. Akhirnya ia bertemu lagi dengan Afnan.
Afnan hanya tersenyum dan mengangguk.
" Kalian saling kenal?" tanya Bu Lina, ibunya Saura.
Saura menceritakan pada ibunya bagaimana mereka bertemu pertama kali saat di pasar. Setelah itu Bu Lina mempersilahkan Afnan untuk duduk di ruang tamu bersama Saura.
" Lo kerja dari jam berapa? Bukannya jam segini tuh anak sekolah baru pada pulang ya? Apa lo nggak sekolah?" tanya Saura. Ia sangat ingin tahu tentang Afnan
"Aku nggak sekolah..." Afnan tersenyum singkat, kemudian melanjutkan kata-katanya, "...Aku setiap hari kerja, cari uang buat aku makan dan untuk nenekku juga. Orangtuaku sudah tidak ada. Mereka meninggal saat aku kelas 7. Aku putus sekolah karena nggak sanggup buat bayar uang sekolah."
Saura bersyukur karena hidupnya walaupun sederhana, ia masih dapat bersekolah dan ia tidak perlu bekerja susah payah hanya untuk makan sehari-hari karena ada ayahnya yang selalu memenuhi nafkah keluarganya. Kadang ia berpikir, di luar sana banyak anak-anak yang tidak bisa sekolah hanya karena keterbatasan biaya. Sedangkan anak-anak lain yang masih dapat bersekolah justru bermalas-malasan dan malah menyia-nyiakan masa sekolah mereka.
"Maaf ya kalau gue nanya-nanya kayak gini," ucap Saura yang merasa tak enak telah bertanya seperti tadi.
"Nggak apa-apa kok, Ra," kata Afnan.
Kemudian mereka berbincang-bincang mengenai banyak hal. Dari situlah Saura sedikit kagum terhadap Afnan.
Saura dan Afnan kini semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama. Bahkan Saura sudah kenal dan dekat dengan neneknya Afnan.
Terkadang Saura membawakan makanan untuk mereka. Afnan tidak pernah menyangka bahwa ia akan mengenal dan dekat dengan gadis baik hati dan juga rendah hati seperti Saura.
"Saura..sini!" ucap Afnan. Ia mengajak Saura ke rumah pohon.
"Kamu tulis namaku disitu, terus aku yang nulis nama kamu." Afnan dan Saura mengukirkan nama mereka berdua di pohon itu menggunakan batu. Pohon itu menjadi saksi bisu pertemanan sejati Afnan dan Saura. Mungkin saat ini mereka masih berteman dan masih menyimpan perasaannya masing-masing. Namun siapa yang tahu nantinya akan seperti apa.
Afnan sebenarnya telah lama jatuh hati kepada Saura. Namun ia sadar diri dan merasa tidak pantas berpasangan dengan Saura yang cantik, pintar, dan baik. Di sisi lain, Saura pun menyukai Afnan. Ia selalu merasa nyaman bila di dekat Afnan. Tapi tak mungkin Saura mengungkapkan perasaannya itu terlebih dahulu pada Afnan karena ia perempuan.
Dan perempuan hanya bisa menunggu dan menunggu. Afnan dan Saura saling mencintai, namun terbentengi oleh rasa tidak pantas dan gengsi.
***
"Saya mengizinkan kamu untuk berteman dengan anak saya bukan berarti kamu bisa terus-terusan dekat dengan dia setiap saat. Saya tahu kamu pasti suka kan sama anak saya. Saya mohon jauhi Saura...saya tidak mau Saura dekat dengan anak seperti anda," kata Pak Reza, ayahnya Saura. Afnan tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak mungkin harus menjauh dengan Saura, teman satu-satunya yang ia miliki. Tapi ia juga sadar akan keadaan dirinya sendiri. Sejak awal memang ia tidak pantas untuk Saura. Ia miskin, tidak sekolah, dan tidak punya apa-apa.
Ia tahu orang tua Saura tidak ingin anaknya berhubungan dengan dirinya. Maka dari itu, sebelum perasaannya lebih jauh lagi, Afnan akan berusaha jaga jarak dengan Saura. Demi kebaikan Saura sendiri.
*
Saura bingung dan tak tahu lagi harus mencari Afnan kemana. Sudah seminggu ia tidak bertemu Afnan. Di pasar, di toko maupun di rumahnya tidak ada Afnan. Bahkan tetangga Afnan bilang bahwa Afnan telah pindah rumah. Afnan hanya menitipkan surat kepada tetangganya itu untuk Saura.
Teruntuk Saura
Terima kasih telah mau menjadi temanku. Terima kasih telah berbaik hati kepadaku dan kepada nenekku. Saura...kamu sungguh gadis yang sangat baik.
Maaf kalau aku pergi tanpa sepengetahuanmu.
Berat sekali rasanya meninggalkan kamu.
Aku pergi agar bisa menjadi seseorang yang pantas untuk bersanding denganmu. Saat aku kembali nanti, aku bukan lagi Afnan yang miskin, bukan lagi Afnan yang tidak berpendidikan.
Aku berjanji akan menjadi pria sukses dan mapan yang akan membahagiakanmu suatu saat nanti.
Tunggu aku Saura.
Seseorang yang mencintaimu,
Afnan Purnama
'Ibaratnya aku matahari dan kamu bulannya. Kita bertemu saat gerhana, hanya sesaat. Setelah itu kita tak saling jumpa lagi'
Mungkin perumpamaan itu cocok bagi mereka. Afnan Purnama dan Saura Ramaniya Hardianti.

Komentar
Posting Komentar